Public Health
03 Jul. 2013
02 Jul. 2013
25 Apr. 2013
Feminisme
“Feminis dan Gerak Budaya”
Alam sama sekali tidak menjelaskan mengenai
pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, tidak pula dengan institusi
semacam pernikahan, keterikatan suami-istri, maupun paternalitas. Semuanya
dipaksakan kepada perempuan, maka dari itu semua ini haruslah dijelaskan
melalui peradaban, bukan malah menggunakannya untuk menjelaskan secara
sebaliknya (1 : Meillasoux).
Meski
tak seorangpun ahli antropologi, atau arkeolog termasuk feminis menemukan dan
membenarkan asumsi bahwa peradaban itu
mula-mula matriarkal. Akan tetapi saya akan membuat suatu eksplorasi dari
tulisan ini menganai berbagai kejadian-kejadian tentang gerak budaya
matriarkal, agar tidak menjadi dongeng belaka, mengaburkan bahkan menjadi
kegelapan sejarah. Saya akan brangakat dari sebuah mitologi yunani kuno, tentang
dewa-dewa penyembuh. Hal ini sangat menarik buat saya karena masih teringat
jelas, waktu dosen saya menjelaskan tentang mitologi tersebut dan beberapa
referensi ilmu kesehatan yang menjadikan mitologi ini sebagai sejarah kesehatan
masyarakat, dua tokoh besar yakni Asclepius dan Hygea yang memiliki peran yang berbeda dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sepanjang
masa yunani kuno penyembuhan dianggap, secara esensial sebagai suatu fenomena
spiritual dan diakaitkan dengan dewa-dewa. Hygea adalah dewa penyembuh yang
paling menonjol diantara dewa-dewa yang lain, yang merupakan salah satu
manifestasi dari Dewa Crete Athena, yang dihubungka dengan simbolisme ular dan
menggunakan semacam daun-daun sebagai penyembuh segala macam. Ritus
pengobatannya merupakan rahasia yang dijaga oleh pendeta wanita. Menjelang
akhir millinium kedua sebelum masehi, agama dan tatanan sosial telah dipaksakan
ke yunani oleh tiga gelombang penyerbu barbar dan sebagian besar mitos-mitos
dewi kuno mengalami distorsi dan dimasukkan dalam sistem baru, dengan cara
mengambarkan dewi sebagai keluarga dewa yang lebih kuat. Hygea dibuat menjadi putri dewa Asclepius yang
menjadi dewa penyembuh yang dominan dan disembah di kuil-kuil diseluruh yunani
(*). Dalam versi mitos baru, Hygea dan saudara perempuannya Panikea dihubungkan
sebagai putri Aclepius yang merupakan dua aspek seni penyembuh yang sejak
yunani kuno hingga dewasa ini tetap dianggap sahih sebagai preventive dan
curative.
Versi
mitos baru inilah yang kemudian menjadi referensi dalam ilmu kesehatan modern,
dari salah satu referensi dijelaskan bahwa Asclepius disebut sebagai sebagai
dokter pertama dan disebutlah Hygea sebagai asisten dan sekaligus sebagai
istrinya. Meskipun berikutnya dijelaskan perbedaan peran mereka, Asclepius
melakukan pendekatan pengobatan (curative) dan Hygea dengan pendekatan
pecegahan penyakit (preventive)(Admodjo,
2003).
Paham
patriarki yang masuk ke yunani pada saat itu, mewabah pada semua aspek kehidupan,
sangat kompleks, dan terdistribusi dengan baik sampai pada pemikiran-pemikiran
yang paling mendasar. Membuat sistem ini hingga kini tidak pernah tertentang
secara terbuka dalam catatan sejarah dan doktrin-doktrinnya diterima sedemikian
universal sehingga tampak sebagai hukum alam. Tradisi agama, memberikan
sumbangsi besar terhadap kelanggengan sistem ini. Dimana agama, yang setia pada
gambaran Tuhan sebagai pria, suatu personifikasi akal yang hebat dan sumber
kekuasaan ultima, yang memerintah dunia dari atas dengan memberlakukan hukum
ilahianya pada dunia. Agama dan tatanan sosial yang telah dipaksakan, merupakan
arus budaya yang kuat terhadap keruntuhan sistem matriarkal (**).
Berbagai
distorsi sejarah yang telah dibawah oleh arus patriarkal dari hal yang sangat
mendasar bahkan samapi pada distorsi mitos, yang memberi pengaruh besar
terhadap perdaban alam dan manusia.
Sejak
1970an antropolog, Adrienne Zihlman, Nancy tanner dan Frances Dahlberg (2)
membenarkan stereotip mula-mula era prasejarah dimana ”Lelaki adalah sang
pemburu” dan ”Perempuan adalah sang peramu.” Kuncinya disini adalah data bahwa
secara garis besar, komunitas-komunitas pra-agrikultur memperoleh 80 persen
kebutuhan makan dari mengumpul (mengumpulkan makanan) dan 20 persen dari
berburu. Sangat mungkin untuk mencurigai pemisahan antara berkumpul/berburu dan
mengabaikan bahwa komunitas-komunitas tersebut, dalam tingkatan-tingkatan
signifikan, dapat membuktikan bahwa perempuan yang berburu dan pria yang meramu
(3). Namun otonomi perempuan di dalam masyarakat semacam ini mengacu pada
fakta, melalui penilaian pola aktivitas mereka, bahwa sumberdaya untuk hidup
bagi perempuan cukup setara dengan pria.
Dalam
komunitas-komunitas matriarkal Pueblo, Iroquois, Crow dan kelompok-kelompok
Indian Amerika lainnya, perempuan dapat memutuskan tali perkawinan kapan saja.
Secara garis besar, pria dan perempuan di dalam masyarakat semacam ini lebih
leluasa bergerak dengan bebas dan damai dari satu kelompok ke kelompok lainnya,
seperti halnya juga ketika mereka berada di dalam atau di luar suatu hubungan.
(4) Menurut Rosalind Miles, pria tidak hanya tidak memerintah ataupun
mengeksploitasi perempuan, “mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak
memiliki kendali atas tubuh perempuan maupun anak-anak mereka, sehingga tidak
ada yang namanya penyakralan akan suatu keperawanan atau kesucian, dan (kaum
lelaki) tidak menuntut apapun dari eksklusivitas aktivitas seksual perempuan.”
(5) Zubaeeda Banu Quraishy memberikan satu contoh dari Afrika: “Hubungan-hubungan
gender suku Mbuti dikarakteristikan oleh harmoni dan kerjasama.” (6)
Memasuki era Paleolitikum Lanjut, yang
merupakan awalan dari Revolusi era Neolitikum dimana terbentuknya peradaban dan
domestikasi, revolusi gender telah mencapai masanya. Tanda-tanda maskulin dan
feminim mulai hadir sekitar 35,000 tahun lalu di dalam seni-seni goa. Kesadaran
gender bangkit sebagai pencapaian keseluruhan dualitas, suatu spektral dari
masyarakat yang terpilah-pilah. Di dalam suatu polarisasi aktivitas baru ini,
aktivitas menjadi berorientasi dan terdefinisikan oleh gender. Peran pemburu,
misalnya, berkembang menjadi sesuatu yang kelaki-lakian, kriteria-kriterianya
terkhususkan pada gender pria sebagai suatu sifat yang diinginkan (7).
Ketika telah menjadi sangat menyatu atau
menyeluruh, aktivitas semacam kelompok-kelompok peramu makanan dan tanggung
jawab komunal untuk merawat anak, sekarang ini menjadi bidang-bidang yang
terpisah di mana kecemburuan seksual dan kepemilikan (posesif) mulai hadir. Disaat
yang bersamaan, hal-hal simbolis muncul sebagai suatu bidang ataupun realitas
yang terpisah. Bukti-bukti ini bisa dilihat dalam praktik-praktik seni dan
ritual. Sangatlah berisiko untuk mengandaikan masa lalu yang jauh menggunakan
titik berangkat masa sekarang, meskipun budaya-budaya non-industrial yang masih
tersisa dapat menunjukan titik terang. Suku Bimin-Kushumin Papua Nugini,
misalnya, mengalami pemisahan maskulin dan feminim sebagai sesuatu yang
mendasar dan menegaskan. ”Esensi” maskulin, yang diistilahkan sebagai finiik,
tidak hanya melambangkan kualitas-kualitas kekuatan ala kesatria perang, tetapi
juga berhubungan dengan ritual dan kontrol. ”Esensi” feminim, atau
khaapkhabuurien, adalah sesuatu yang liar, impulsif, sensual, dan acuh pada
ritual. Sama halnya dengan Mansi di daerah barat-daya Siberia yang
memberlakukan aturan-aturan keras pada keterlibatan perempuan di dalam
praktik-praktik ritual. (8)
Adanya bukti suku-suku seperti ini, bukanlah
hal yang berlebihan untuk mengatakan bahwa peran ritual merupakan sesuatu yang
menentukan bagi subordinasi perempuan. Gayle Rubin menyimpulkan bahwa
”kekalahan universal perempuan secara historis hadir melalui asal-usul budaya
dan merupakan prasyarat dari terjadinya budaya.” (9)
Catatan :
1.
zerzan,
John, 2007, Patriarki, Peradaban dan Asal-Usul Gender, harismamedia.com. (1 : Meillasoux,
op.cit., hal 20-21, 2 : Sebagai contoh, Adrienne L. Zihlman dan
Nancy Tanner, “Gathering and Hominid Adaptation,” dalam Lionel Tiger and
Heather Fowler, eds., Female Hierarchies (Beresford: Chicago, 1978); Adrienne
L. Zihlman, “Women in Evolution,” Signs 4 (1978); Frances Dahlberg, Woman the
Gatherer (Yale University Press: New Haven, 1981); Elizabeth Fisher, Woman’s
Creation: Sexual Evolution and the Shaping of Society (Anchor/ Doubleday: Garden City NY, 1979). 3 : James
Steele dan Stephan Shennan, eds., The Archaeology of Human Ancestry (Routledge:
New York, 1995), hal. 349. Also, M. Kay Martin and Barbara Voorhies, Female of
the Species (Columbia University Press: New York, 1975), hal 210-211. 4 : Claude Meillasoux, Maidens, Meal
and Money (Cambridge University Press: Cambridge, 1981), p. 16. 5 : Rosalind Miles, The Women’s
History of the World (Michael Joseph: London, 1986), p. 16. 6 : Zubeeda
Banu Quraishy, “Gender Politics in the Socio-Economic Organization of
Contemporary Foragers,” dalam Ian Keen dan Takako Yamada, eds., Identity and
Gender in Hunting and Gathering Societies (National Museum of Ethnology: Osaka,
2000), p. 196. 7 : Elena G. Fedorova, “The Role of Women in Mansi Society,” in Peter P.
Schweitzer, Dalam Hunters and Gatherers in the Modern World (Berghahn Books:
New York, 2000), karya Megan Biesele dan Robert K. Hitchhock, hal. 396. 8 :
Steven
Harrall, Human Families (Westview Press: Boulder CO, 1997), hal. 89. “Contoh-contoh
hubungan antar ritual dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat forager tersebar
luas,” menurut Stephan Shennan di “Social Inequality and the Transmission of
Cultural Traditions in Forager Societies,” karya Steele and Shennan, op.cit.,
hal. 369. 9: Gayle Rubin, “The Traffic in Women,” Toward an Anthropology of Women
(Monthly Review Press: New York, 1979), hal. 176.
2.
Notoadmodjo,
Soekidjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta
3.
Fritcof
Capra, 1999, Titik Balik Peradaban ‘ Sain, Masyarakat dan Kebangkitan Budaya.
Yayasan bentang Budaya, Jogjakarta.{ (*) : Keutuhan dan kesehatan, hal : 431.
(**) : Gelombang yang berbalik, hal 33-34.
24 Apr. 2013
Kecelakaan Lalulintas
EPIDEMIOLOGI DAN BIOSTATISTIK
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa umur pengemudi
merupakan faktor risiko dimana umur tua berisiko 6,67 kali lebih besar dibandingkan pengemudi umur muda dengan
konfidence interval 2,139 – 20,780 (p = 0,001) sedangkan perilaku pengemudi
bukan merupakan faktor risiko dengan nilai konfidence interval 0,463 – 2,269 (p
= 0,825) dan kelelahan pengemudi merupakan faktor risiko dengan besar risiko
2,9 kali untuk mengalami kecelakaan lalulintas dibandingkan pengemudi yang
tidak lelah dengan nilai konfidence interval 1,117 – 7,553 (p = 0,024).
NORMA, SKM, M.Kes
“FAKTOR RISIKO KEJADIAN KECELAKAAN LALULINTAS PADA MOBIL ANGKUTAN
PENUMPANG DI KABUPATEN SINJAI TAHUN 2004”
xiii + 71 halaman
+ 20 tabel
+ 10 lampiran
Kecelakaan lalulintas adalah suatu kecelakaan lalulintas jalan yang mana
paling sedikit melibatkan satu kendaraan yang menyebabkan terluka atau
kerusakan/kerugian pada pemiliknya. Kecelakaan lalulintas merupakan salah satu
bentuk dampak negatif dari aktivitas yang dibangkitkan karena adanya aktivitas
sistem masyarakat.
Kecelakaan di jalan merupakan masalah kesehatan yang sangat serius,
dengan konstribusi terbesar disebabkan karena faktor manusia (91 %), faktor
kendaraan (5 %), faktor jalan (3 %) dan faktor lingkungan (1 %). Oleh itu,
perlu diperhatikan faktor-faktor yang berhubungan dengan kecelakaan lalulintas
dalam hal ini pengemudi sebagai human error. Beberapa faktor diantaranya adalah
umur pengemudi, perilaku pengemudi dan kelelahan pengemudi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah umur pengemudi,
perilaku pengemudi dan kelelahan pengemudi merupakan faktor risiko kejadian
kecelakaan lalulintas pada mobil angkutan penumpang di Kabupaten Sinjai tahun
2004.
Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan rancangan “Case Control Study”. Jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah sebanyak 136 responden yang terdiri dari 68 kasus
dan 68 kontrol. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan
responden. Data diolah dengan menggunakan komputer Program SPSS versi 11,0 dan
uji statistik yang digunakan adalah Odds Ratio (OR).
|
Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan perlunya kesiapan fisik
dan mental pada saat mengemudi, bekerjasama lintas sektoral untuk meningkatkan,
mengantisipasi dan mengurangi terjadinya pelanggaran yang berdampak pada
kecelakaan dalam hal ini perilaku pengemudi. Sebaiknya sebelum mengemudi
pastikan tidur malam cukup, batasi waktu pengemudi pada malam hari, hindari
mengemudi untuk jarak yang jauh dan hindari juga mengkonsumsi alkohol meskipun
dalam kadar yang sedikit.
Daftar pustaka
: (1994 – 2005)
Jurnal Pneumonia
FAKTOR
PREDISPOSISI PERILAKU IBU TERHADAP PENCARIAN PENGOBATAN PERTAMA BALITA
PNEUMONIA DI KABUPATEN MAROS TAHUN 2009
Penulis
Norma, SKM, M.Kes
Prof.DR.Ridwan
Amiruddin,SKM,M.Kes,M.Sc,PH
Prof.DR.drg.H.A.Arsunan
Arsin,M.Kes
Fakultas Kesehatan
Masyarakat UNHAS
Jl. Perintis
Kemerdekaan Km 10
Tamalanrea
Makassar,
90245
Abstrak
Pneumonia merupakan masalah
kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara
berkembang tetapi juga di negara maju. Pneumonia di Indonesia, merupakan
penyebab kematian nomor tiga. Kejadian pneumonia di Kabupaten Maros pada tahun
2009 sebanyak 512 kasus atau 11,2 % dari jumlah balita yang menderita ISPA.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor predisposisi perilaku Ibu
terhadap
pencarian pengobatan pertama balita pneumonia di Kabupaten Maros tahun 2009.
Penelitian ini bersifat observasional
dengan rancangan studi kasus kontrol (
case control study ). Subyek kasus adalah
pengobatan pertama pada non tenaga kesehatan sedangkan subjek kontrol
adalah pengobatan pertama pada tenaga kesehatan.
Studi
menunjukkan, hasil analisis yang signifikan terhadap variabel sikap OR = 5,392, (95 % CI = 2,734 - 10,636) , kepercayaan pengobatan
OR = 7,865, (95 % CI = 3,856 - 16,04),
dan pengetahuan OR = 5,255, (95 % CI = 2,647 - 10,431). Variabel yang
tidak signifikan adalah pengalaman pengobatan dan pekerjaan. Variabel dukungan
suami, keluarga atau orang lain, bersifat protektif atau memberikan
perlindungan pada ibu, untuk tidak mencari pengobatan pertama ke non nakes.
Variabel yang paling berpengaruh terhadap pencarian pengobatan pertama balita
pneumonia adalah pengetahuan.
Kata
kunci
: Pencarian pengobatan pertama, dan pneumonia.
Abstrac
Pneumonia was
the world's health problem due the high death rate, not only in developing
countries but also in developed countries. Pneumonia in Indonesia, repesented
the third cause of death. The occurrence of pneumonia at Maros Regency in 2009 as
many as 512 cases or 11.2% out of the number of the children under five years
old who suffered from respiratory infection. The objective of this research was
to analyse predisposing factors of mothers’ behaviours towards the search of the first medication for the of children
under five years old at Maros Regency in the year 2009.
This was an observational research with the case control study design. The case subjects were of the non-paramedic personnel with the fist medication, while the control subjects were the paramedic personnel with the first medication.
This was an observational research with the case control study design. The case subjects were of the non-paramedic personnel with the fist medication, while the control subjects were the paramedic personnel with the first medication.
The result of
the research shows that significant results of the analysis on the attitude
variables OR = 5.392, (95% CI = 2.734 to 10.636), the significant level of
medication OR = 7.865, (95% CI = 3.856 to 16.04), and knowledge OR = 5.255, (95
% CI = 2.647 to 10.431). The Insignificant variable is the medication experience
and vocation/occupation. The husband’s support, relatives or the other people’s
variables are protective or give protection onr the mothers not to search the
first medication from non-paramedic personnel. The most influence variable on
the search of the first for the of the children under five years old is knowledge.
Keywords
: Searching the first treatment, and
pneumonia.
Pendahuluan
Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia
karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di
negara maju seperti Amerika Serikat, Kananda, dan negara-negara Eropa.
Pneumonia di Indonesia, merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan TBC. Faktor
sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Pada tahun 2006 di
Indonesia, WHO melaporkan sebanyak enam juta anak meninggal. Sehingga, untuk
negara-negara berkembang perlu mewaspadai, sebab hampir setiap harinya terdapat
300 anak yang meregang nyawa karenanya (Siswono,
2006)1.
Angka kejadian pneumonia di Sulawesi - selatan pada
tahun 2008 sebanyak 23,8 % dari proporsi penyakit penyebab kematian bayi
(Profil Propinsi SUL-SEL, 2009)2. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kabupaten Maros tahun 2007, angka kejadian pneumonia pada balita sebanyak 408
kasus. Tahun 2008 mengalami peningkatan, sebanyak 843 kasus dan pada tahun 2009
mengalami penurunan dengan angka kejadian sebanyak 512 kasus atau 11,2 % dari
jumlah balita yang menderita ISPA (Dinkes Kabupaten Maros, 2009)3.
Bahan dan Metode
Lokasi,
populasi dan sampel penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Maros tahun
2010, dari bulan maret sampai april 2010.
Penelitian ini adalah observasi analitik dengan menggunakan rancangan case
control study. Populasi sampel adalah
semua ibu yang memiliki anak balita (0 - < 5 tahun) dengan pneumonia di
Kabupaten Maros.
Sampel dalam penelitian ini dibagi dalam 2 kelompok
: Kasus adalah ibu yang memiliki anak balita (0 - < 5 tahun) menderita
pneumonia yang mencari pengobatan pertama tidak pada tenaga kesehatan
(mengobati sendiri, ke dukun) di wilayah Kabupaten Maros (7 puskesmas) tahun
2009. Kontrol adalah . ibu yang memiliki anak balita (0 - < 5 tahun)
menderita pneumonia yang mencari pengobatan pertama pada tenaga kesehatan di
wilayan Kabupaten Maros (7 puskesmas) tahun 2009.
Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan wawancara langsung dengan
responden yakni ibu, baik pada kelompok
kasus maupun maupun kelompok kontrol dengan menggunakan kuesioner sebagai alat
ukur.
Analisis Data
Analisis dapat dilakukan melalui beberapa tahapan
yaitu analisis univariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan
gambaran umum dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan
dalam penelitian yaitu dengan melihat gambaran distribusi frekuensinya dalam
bentuk tabel dan narasi. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat faktor
risiko antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Karena rancangan
penelitian ini adalah studi kasus kontrol, maka dilakukan perhitungan Odds
Ratio (OR). Dengan mengetahui besarnya OR, dapat diestimasi pengaruh dari
setiap faktor yang diteliti dan analisis multivariate. Pada analisis ini
dilakukan ujicoba bersama-sama, sehingga dapat dilihat variabel mana yang
paling berpengaruh terhadap pencarian pengobatan pertama balita pneumonia, karena
variabel independen merupakan variabel dikotomi, yaitu pengobatan pertama pada
non tenaga kesehatan (kasus) dan pengobatan pertama tenaga kesehatan (kontrol),
maka analisis yang digunakan adalah analisis logistik regresi.
Hasil
Penelitian
Karakteristik
Responden
Karakteristik responden yang diteliti dapat dilihat
pada tabel 1. Terlihat bahwa distribusi
responden menurut kelompok umur menunjukkan bahwa kelompok umur, responden
dengan umur termuda adalah berusia 18 tahun dan yang tertua adalah 38 tahun.
Karakteristik responden menurut pendidikan menunjukkan bahwa sebagaian besar
responden berpendidikan SLTA yakni 47,0 %.
Hasil
analisis bivariat menunjukkan, signifikan terhadap variabel sikap, OR = 5,392, (95 % CI = 2,734 - 10,636) , kepercayaan pengobatan,
OR = 7,865, (95 % CI = 3,856 - 16,04),
dan pengetahuan, OR = 5,255, (95 % CI = 2,647 - 10,431). Variabel yang
tidak signifikan adalah pengalaman pengobatan, OR = 1,467 (95 % CI = 0,725 - 2,966) dan pekerjaan,
OR = 2,391 (95 % CI = 0,921-6,209). Variabel dukungan suami, keluarga atau
orang lain, bersifat protektif atau memberikan perlindungan pada ibu, untuk
tidak mencari pengobatan pertama ke non nakes, OR = 0,180 (95 % CI =
0,077-0,422). Setelah dilakukan analisis multivariat terhadap variabel-variabel
yang layak uji dengan mengunakan uji regresi logistic (sikap, kepercayaan
pengobatan, pengetahuan, pekerjaan, dukungan suami, keluarga atau orang lain).
Hasil analisis mnunjukkan bahwa variabel pengetahuan merupakan variabel
yang paling berpengaruh terhadap pencarian pengobatan pertama balita pneumonia
dibanding dengan variabel lainnya, dimana Exp (B) adalah 5,965 (tabel 2).
Pembahasan
sikap
Sikap muncul dari berbagai
bentuk penilaian. Sikap dikembangkan dalam tiga model, yaitu afeksi, kecenderungan perilaku, dan kognisi. Respon
afektif adalah respon fisiologis yang mengekspresikan kesukaan individu pada
sesuatu. Kecenderungan perilaku adalah indikasi verbal dari maksud seorang
individu. Respon kognitif adalah pengevaluasian secara kognitif terhadap suatu
objek sikap. Kebanyakan sikap individu adalah hasil belajar sosial dari lingkungannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel sikap
signifikan terhadap pencarian pengobatan pertama balita pneumonia, untuk ibu
yang bersikap negatif berisiko sebesar
5,392 kali untuk mencari pengobatan pertama pada non tenaga kesehatan
dibandingkan dengan ibu yang bersikap positif.
Hal ini sesuai dengan teori Green (1980) dalam Muzaham (2007)4 bahwa
sikap berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok dalam melakukan
sesuatu, dengan demikian sikap positif akan memotivasi individu untuk mencari
pengobatan ke fasilitas kesehatan, sebaliknya sikap negatif akan memotivasi
individu untuk mencari pengobatan ke non nakes..
Variabel sikap merupakan variabel yang layak uji
multivariat dimana nilai p value = 0,000 < 0,25. Hasil analisis, menunjukkan
bahwa variabel sikap signifikan terhadap pencarian pengobatan pertama balita
pneumonia, nilai Exp (B) = 3,648, Confidence Interval = 1,553 - 8,556, tetapi
bukan merupakan variabel yang paling dominan terhadap pencarian pengobatan
pertama balita pneumonia.
Penelitian ini relevan dengan penelitian yang
dilakukan Purwanti (2004)5, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
sikap mempunyai hubungan yang bermakna dengan pencarian pengobatan pertama
balita pneumonia, untuk ibu yang bersikap negatif berpeluang 2,16 kali untuk
mencari pengobatan ke non nakes.
Pengalaman Pengobatan
Pengalaman
seseorang mengenai penyakit akan mempengaruhi persepsinya mengenai penyakit
tersebut. Persepsi yang akan ditimbulkan akan bersifat positif dalam artian
mendukung pelayanan kesehatan yang dikelolah oleh tenaga kesehatan atau akan
besifat negatif yang mendukung pengobatan pada non tenaga kesehatan. Seseorang
yang memiliki pengalaman yang menjumpai kasus pneumonia yang pengobatanya
dilakukan pada tenaga kesehatan berpeluang untuk menggunakan sarana pelayanan
kesehatan apabila menjumpai kasus yang sama berikutnya (pengalaman positif).
Setelah
dilakukan analisis bivariat, variabel pengalaman pengobatan memiliki nilai OR
sebesar 1,467, dengan nilai Confidence Interval 0,725 – 2,966. Hal ini berarti
bahwa ibu yang tidak ada pengalaman berisiko sebesar 1,467 kali untuk mencari
pengobatan pada non tenaga kesehatan dibandingkan ibu yang ada pengalaman.
Secara Statistik variabel pengalaman pengobatan tidak signifikan terhadap
pencarian pengobatan pertama. Variabel pengalaman pengobatan tidak layak uji
multivariat, dimana nilai p value = 0,285 > 0,25.
Notoadmodjo (1993)6, menjelaskan bahwa
proses pembentukan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor berasal dari dalam
dan luar individu antara lain susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, proses
belajar, lingkungan dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa, suatu pengalaman
menjumpai kasus pneumonia tidak menjamin untuk membawa anaknya pada tenaga
kesehatan melainkan harus disenergiskan terlebih dahulu dengan faktor-faktor
lain yang turut mengambil peranan dalam pembentukan suatu perilaku.
Penelitian ini relevan dengan penelitian yang
dilakuka Hendrawan (2003)7, menunjukkan bahwa variabel pengalaman
pengobatan tidak bermakna secara statistik, nilai OR sebesar 1,221.
Menurut Rosenstock dalam sumber yang sama,
menyatakan bahwa sikap dan kepercayaan mengenai institusi dan penyediaan
pelayanan medis berguna didalam memahami perawatan kesehatan pencegahan.
Tingkat penggunaan pelayanan kesehatan yang rendah berada pada kelompok etnis
tertentu yang pesimis (skepticism) terhadap manfaat pelayanan kesehatan modern.
Kepercayaan Pengobatan
Berdasarkan
hasil analisis bivariat diperoleh OR sebesar 7.865 dengan Confidence Interval
3.856 – 16.042. Variabel kepercayaan pengobatan signifikan terhadap pencarian
pengobatan pertama balita pneumonia. Hal ini berarti bahwa Ibu yang mempunyai
kepercayaan pengobatan tradisional berisiko sebesar 7.865 kali untuk mencari
pengobatan pertama pada non tenaga kesehatan dibandingkan ibu yang memiliki
kepercayaan pengobatan modern. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
Mar’at (1981)8 yang menyatakan bahwa kepercayaan (belief) merupakan komponen kongnisi
dari sikap. Kepercayaan berkembang dari adanya persepsi yang dipengaruhi oleh
pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan, dimana faktor pengalaman
dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang
dilihat sedangkan faktor pengetahuan dan cakrawalanya memberikan arti dalam
obyek tersebut. Selanjutnya komponen sikap yang lain, yakni komponen
afeksi memberikan evaluasi emosional
berupa senang atau tidak senang terhadap obyek dan kemudian komponen konasi
menentukan kesiapan tindakan terhadap obyek. Sebagai hasil dari proses ini,
tindakan bisa bersifat positif atau negatif.
Pengetahuan
Suchmn dalam purwanti (2004), menyebutkan bahwa
pengetahuan mengenai penyakit dan gejalanya kemungkinan dapat menjelaskan
mengapa kelompok etnis tertentu menggunakan beberapa sarana pelayanan
kesehatan. Asumsi yang umum adalah masyarakat akan lebih menggunakan sarana
pelayanan kesehatan apabila mereka mengetahui lebih banyak mengenai penyakit
dan gejalanya.
Berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh OR
sebesar 5.255 dengan Confidence Interval 2.647 – 10.431. Hal ini berarti bahwa
Ada hubungan bermakna antara variabel pengetahuan dengan pencarian pengobatan
pertama balita pneumonia, Ibu yang mempunyai pengetahuan kurang berisiko
sebesar 5.255 kali untuk mencari pengobatan pertama pada non tenaga kesehatan
dibandingkan ibu yang memiliki pengetahuan baik. Variabel pengetahuan juga
merupakan variabel yang layak uji multivariat, dimana nilai p value = 0,000
< 0,25. Setelah dilakukan analisis diperoleh nilai Exp (B) = 5,885, dengan
Confidence Interval 2,464 – 14,058, variabel pengetahuan merupakan variabel
yang paling dominan terhadap pencarian pengobatan pertama balita pneumonia.
Hal ini sesuai dengan hipotesis Health belief models
Resenstock, (1974) dalam Muzaham (2007), mengemukakan bahwa orang tidak akan
mencari pertolongan medis atau pencegahan penyakit bila mereka kurang mempunyai
pengetahuan dan motivasi minimal yang relavan dengan kesehatan, bila mereka
memandang keadaan tidak cukup berbahaya, bila tidak yakin terhadap keberhasilan
suatu intervensi medis, dan bila mereka melihat adanya beberapa kesulitan dalam
melaksanakan perilaku kesehatan yang disarankan.
Pekerjaan
Ibu yang bekerja
diasumsikan memiliki informasi yang lebih mengenai penyakit pneumonia.
Disamping itu juga, dengan potensi pergaulan yang lebih luas, membuat ibu-ibu
yang bekerja memiliki cakrawala pandangan yang lebih baik mengenai kesehatan
sehingga dapat memberikan upaya pengobatan yang tepat bagi anaknya yang sakit
pneumonia. Ibu yang bekerja, juga mandiri secara ekonomi sehingga ia dapat
memilih pengobatan yang baik pada balitanya.
Berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh nilai
OR sebesar 2,391 dengan Confidence Interval 0,921 – 6,209. Hal ini berarti
bahwa Ibu yang tidak bekerja berisiko sebesar 2,391 kali untuk mencari
pengobatan pertama pada non tenaga kesehatan dibandingkan ibu yang bekerja.
Variabel pekerjaan
tidak signifikan terhadap pencarian pengobatan pertama balita pneumonia. Hal
ini diasumsikan bahwa ibu yang bekerja memiliki mobilitas yang tinggi. Berbagai
aktivitas dan kesibukan Ibu yang bekerja dapat menghambat pencarian pengobatan
pertama pada pelayanan kesehatan. Disisi lain ibu yang tidak bekerja memiliki
waktu untuk lebih sering kontak dengan anaknya sehingga dapat lebih sering
memperhatikan keadaan anak, dan perubahan yang terjadi pada anaknya. Ibu yang tidak
bekerja juga memiliki keleluasaan waktu untuk mencari pengobatan pada fasilitas
kesehatan.
Dukungan
suami, keluarga atau orang lain
Beberapa studi
menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara upaya pencarian pengobatan dengan
pengaruh dari orang lain. Freidson dalam
Hendrawan (2003), mengamati bahwa sebelum mencari pengobatan profesional,
seseorang umumnya meminta pertimbangan dari keluarga atau teman mengenai apa
yang seharusnya mereka perbuat ketika menghadapi gejala penyakit tersebut.
Berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh OR
sebesar 0,180 dengan Confidence Interval 0.077 – 0,422. Hal ini berarti bahwa
ibu yang tidak ada dukungan suami, keluarga atau orang lain dalam menentukan
pengobatan, tidak akan mencari pengobatan pertama pada non tenaga kesehatan.
Variabel dukungan suami, keluarga atau orang lain signifikan terhadap pencarian
pengobatan pertama balita pneumonia, Confidence Interval tidak mencakup nilai
1.
Variabel dukungan suami, keluarga, atau orang lain
dalam penelitian ini bersifat protektif terhadap pencarian pengobatan pertama
balita pneumonia. Diasumsikan bahwa tidak ada adanya dukungan suami, keluarga,
atau orang lain dalam memberi akses ibu untuk mencari pengobatan ke non nakes
seperti : informasi pengobatan atau biaya, ibu tidak akan membawa balitanya
berobat ke non nakes.
Berkaitan dengan biaya pengobatan, pelayanan
kesehatan saat ini sudah tidak membebankan biaya pada pasien. Dibandingkan
dengan pengobatan sendiri misalnya yang mesti mengeluarkan biaya dengan membeli
obat sendiri, apalagi pengobatan pada dukun yang mesti memberikan upah atas
jasa penyembuhan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 5 variabel
yang layak uji multivariat, variabel pengetahuan merupakan variabel yang paling
berpengaruh terhadap pencarian pengobatan pertama balita pneumonia.
Bloom, (1965) dalam Ngatimin, (2005)9 mengemukakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Penelitian Rogers dalam Ashari (1990)10,
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : Tahap pertama adalah awarness
(kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek). Tahap kedua adalah interest (merasa tertarik)
terhadap stimulus atau objek tersebut, disini sikap subjek mulai timbul. Tahap
ketiga adalah evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden lebih baik lagi.
Tahap keempat adalah trial, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh stimulus. Tahap kelima adalah adoption, dimana subjek
telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus.
Rogers dalam sumber yang sama menyatakan
bahwa apabila perilaku baru atau adopsi perilaku disadari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif, maka sikap tersebut akan bersikap langgeng
(long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak disadari oleh pengetahuan
dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan memberi
kontribusi yang besar terhadap perubahan perilaku. Perubahan sikap,
kepercayaan, seseorang dapat memiliki profesi pekerjaan yang baikpun harus menempuh
pendidikan. Pendidikan ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pengetahuan. Pengetahuan juga mempengaruhi dukungan sosial, ketika lingkungan
sosial dengan tingkat pengetahuan kurang maka diasumsikan dukungan sosial akan
berimplikasi pada perilaku negatif. Sebaliknya jika lingkungan sosial dengan
tingkat pengetahuan baik maka akan berimplikasi pada perilaku positif.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di Kabupaten Maros, pada pelaksanaan penelitian beberapa puskesmas
dikeluarkan dari sampel penelitian sehingga terjadi perubahan pada proporsi
sampel ditiap puskesmas, semula 10 puskesmas menjadi 7 puskesmas karena
pertimbangan kelengakapan pencatatan. Bias seleksi kemungkinan besar terjadi,
karena diagnosa dari pneumonia ini hanya dilihat dari gejala klinisnya saja,
dan diagnosa dipuskesmas mungkin saja dilakukan bukan oleh dokter. Bias
informasi dapat saja terjadi dalam penelitian ini, mengingat inti dari
penelitian ini adalah kemampuan responden untuk mengingat kembali kejadian
pneumonia pada anak balitanya pada tahun 2009, terutama dalam pertanyaan
mengenai sikap dan pengetahuan responden terhadap pencarian pengobatan pertama.
Bias howthorme dapat juga terjadi dalam penelitian ini, mengingat bahwa
responden mengetahui bahwa dirinya sedang diamati sehingga dikhawatirkan
jawaban yang diberikan tidak obyektif dan memiliki kecedrungan menyenangkan
peneliti.
Saran
Perlunya ibu
meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit pneumonia,. Ibu
yang tidak bekerja, aktivitas kesehariannya dirumah sebaiknya tetap mencari
informasi mengenai penyakit pneumonia. Sedangkan ibu yang bekerja sebaiknya
tetap mempunyai waktu luang untuk balitanya. Dukungan sosial memegang peranan
penting dalam menentukan pengambilan keputusan, sebaiknya selain ibu, keluarga
dan masyarakat juga perlu pengetahuan tentang penyakit pneumonia, sehingga pola
pikir mereka berimplikasi positif.
Daftar
Pustaka
1.
Siswono, 2006, 1,8 Juta Anak
Balita Meninggal Akibat Pneumonia dan Meningitis, http://www.mediaindo.co.id. Tanggal 4 April 2006.
2.
Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi
Selatan. 2009. Profil Kesehatan Tahun 2008. SUL-SEL.
3.
Dinkes Kabupaten Maros, data pneumonia
balita tahun 2009.
4.
Muzham, Fauzi. 1995. Sosiologi Kesehatan. UI Press. Jakarta.
5.
Purwanti, Isti Endah. 2004. Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan
Pencarian Pengobatan Pertama Penderita Pneumonia pada Balita di Kabupaten
Majalengka Tahun 2003. Tesis FKM UI.
6.
Notoatmodjo, 1993. Pengantar Ilmu Kesehatan
dan Pendidikan Kesehatan. Andi Offset. Yogyakarta.
7.
Hendrawan, Harimat. 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Perilaku Ibu Balita Dalam Pencarian Pengobatan pada Kasus-kasus Balita dengan
Gejala Pneumonia di Kabupaten Serang Banten Tahun 2003. Tesis FKM UI.
8.
Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan dan Pengukurannya, Galia. Jakarta.
9.
Ngatimin, Rusli. 2005. Ilmu Perilaku Kesehatan. Yayasan PK-3.
Makassar.
10. Ashari, 1990. Domain
Pengetahuan Terhadap Perilaku. http://id.shvoong.com. Tanggal 15 April 2010.
Lampiran
Tabel 1. Distribusi
Karakteristik Responden di Kabupaten Maros Tahun 2009
Kelompok Umur
(Tahun)
|
n
|
%
|
18 – 20
|
4
|
2,4
|
21 – 23
|
64
|
38,1
|
24 – 26
|
50
|
29,8
|
30 – 32
|
36
|
21,4
|
33 – 35
|
14
|
8,3
|
36 – 38
|
14
|
8,3
|
Pendidikan
|
||
Tidak Sekolah
|
8
|
4,8
|
SD
|
45
|
26,8
|
SLTP
|
8
|
4,8
|
SLTA
|
79
|
47,0
|
Diploma / PT
|
28
|
16,7
|
Jumlah
|
168
|
100
|
Sumber :
Data Primer 2009
Tabel.
2. Analisis Model Variabel Bebas (Pencarian Pengobatan pertama balita
pneumonia) dengan variabel terikat faktor predisposisi perilaku ibu (Sikap,
Kepercayaan pengobatan, Pengetahuan, Pekerjaan, dan Dukungan suami, keluarga,
atau orang) di Kabupaten Maros Tahun 2009
B
|
S.E
|
df
|
Sig
|
Exp(B)
|
95.0 %.C.I. for
Exp(B)
|
||
Lower
|
Upper
|
||||||
Sikap
|
1,295
|
0,436
|
1
|
0,003
|
3,648
|
1,553
|
8,566
|
Kepercayaan
|
1,736
|
0,442
|
1
|
0,000
|
5,675
|
2,388
|
13,488
|
pengetahuan
|
1,786
|
0,445
|
1
|
0,000
|
5,965
|
2,493
|
14,270
|
pekerjaan
|
0,667
|
0,621
|
1
|
0,283
|
1,948
|
0,576
|
6,585
|
Dukungan
|
-1,908
|
0,532
|
1
|
0,000
|
0,148
|
0,052
|
0,421
|
Constant
|
-10,908
|
1,732
|
1
|
0,000
|
0,000
|
Sumber :
Data Primer
Teken in op:
Plasings (Atom)