25 Apr. 2013

Feminisme



“Feminis dan  Gerak Budaya”
Alam sama sekali tidak menjelaskan mengenai pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, tidak pula dengan institusi semacam pernikahan, keterikatan suami-istri, maupun paternalitas. Semuanya dipaksakan kepada perempuan, maka dari itu semua ini haruslah dijelaskan melalui peradaban, bukan malah menggunakannya untuk menjelaskan secara sebaliknya (1 : Meillasoux).

Meski tak seorangpun ahli antropologi, atau arkeolog termasuk feminis menemukan dan membenarkan asumsi  bahwa peradaban itu mula-mula matriarkal. Akan tetapi saya akan membuat suatu eksplorasi dari tulisan ini menganai berbagai kejadian-kejadian tentang gerak budaya matriarkal, agar tidak menjadi dongeng belaka, mengaburkan bahkan menjadi kegelapan sejarah. Saya akan brangakat dari sebuah mitologi yunani kuno, tentang dewa-dewa penyembuh. Hal ini sangat menarik buat saya karena masih teringat jelas, waktu dosen saya menjelaskan tentang mitologi tersebut dan beberapa referensi ilmu kesehatan yang menjadikan mitologi ini sebagai sejarah kesehatan masyarakat, dua tokoh besar yakni Asclepius dan Hygea  yang memiliki peran yang berbeda dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sepanjang masa yunani kuno penyembuhan dianggap, secara esensial sebagai suatu fenomena spiritual dan diakaitkan dengan dewa-dewa. Hygea adalah dewa penyembuh yang paling menonjol diantara dewa-dewa yang lain, yang merupakan salah satu manifestasi dari Dewa Crete Athena, yang dihubungka dengan simbolisme ular dan menggunakan semacam daun-daun sebagai penyembuh segala macam. Ritus pengobatannya merupakan rahasia yang dijaga oleh pendeta wanita. Menjelang akhir millinium kedua sebelum masehi, agama dan tatanan sosial telah dipaksakan ke yunani oleh tiga gelombang penyerbu barbar dan sebagian besar mitos-mitos dewi kuno mengalami distorsi dan dimasukkan dalam sistem baru, dengan cara mengambarkan dewi sebagai keluarga dewa yang lebih kuat. Hygea  dibuat menjadi putri dewa Asclepius yang menjadi dewa penyembuh yang dominan dan disembah di kuil-kuil diseluruh yunani (*). Dalam versi mitos baru, Hygea dan saudara perempuannya Panikea dihubungkan sebagai putri Aclepius yang merupakan dua aspek seni penyembuh yang sejak yunani kuno hingga dewasa ini tetap dianggap sahih sebagai preventive dan curative.
Versi mitos baru inilah yang kemudian menjadi referensi dalam ilmu kesehatan modern, dari salah satu referensi dijelaskan bahwa Asclepius disebut sebagai sebagai dokter pertama dan disebutlah Hygea sebagai asisten dan sekaligus sebagai istrinya. Meskipun berikutnya dijelaskan perbedaan peran mereka, Asclepius melakukan pendekatan pengobatan (curative) dan Hygea dengan pendekatan pecegahan penyakit (preventive)(Admodjo, 2003).
Paham patriarki yang masuk ke yunani pada saat itu, mewabah pada semua aspek kehidupan, sangat kompleks, dan terdistribusi dengan baik sampai pada pemikiran-pemikiran yang paling mendasar. Membuat sistem ini hingga kini tidak pernah tertentang secara terbuka dalam catatan sejarah dan doktrin-doktrinnya diterima sedemikian universal sehingga tampak sebagai hukum alam. Tradisi agama, memberikan sumbangsi besar terhadap kelanggengan sistem ini. Dimana agama, yang setia pada gambaran Tuhan sebagai pria, suatu personifikasi akal yang hebat dan sumber kekuasaan ultima, yang memerintah dunia dari atas dengan memberlakukan hukum ilahianya pada dunia. Agama dan tatanan sosial yang telah dipaksakan, merupakan arus budaya yang kuat terhadap keruntuhan sistem matriarkal (**).
Berbagai distorsi sejarah yang telah dibawah oleh arus patriarkal dari hal yang sangat mendasar bahkan samapi pada distorsi mitos, yang memberi pengaruh besar terhadap perdaban alam dan manusia.
Sejak 1970an antropolog, Adrienne Zihlman, Nancy tanner dan Frances Dahlberg (2) membenarkan stereotip mula-mula era prasejarah dimana ”Lelaki adalah sang pemburu” dan ”Perempuan adalah sang peramu.” Kuncinya disini adalah data bahwa secara garis besar, komunitas-komunitas pra-agrikultur memperoleh 80 persen kebutuhan makan dari mengumpul (mengumpulkan makanan) dan 20 persen dari berburu. Sangat mungkin untuk mencurigai pemisahan antara berkumpul/berburu dan mengabaikan bahwa komunitas-komunitas tersebut, dalam tingkatan-tingkatan signifikan, dapat membuktikan bahwa perempuan yang berburu dan pria yang meramu (3). Namun otonomi perempuan di dalam masyarakat semacam ini mengacu pada fakta, melalui penilaian pola aktivitas mereka, bahwa sumberdaya untuk hidup bagi perempuan cukup setara dengan pria.
Dalam komunitas-komunitas matriarkal Pueblo, Iroquois, Crow dan kelompok-kelompok Indian Amerika lainnya, perempuan dapat memutuskan tali perkawinan kapan saja. Secara garis besar, pria dan perempuan di dalam masyarakat semacam ini lebih leluasa bergerak dengan bebas dan damai dari satu kelompok ke kelompok lainnya, seperti halnya juga ketika mereka berada di dalam atau di luar suatu hubungan. (4) Menurut Rosalind Miles, pria tidak hanya tidak memerintah ataupun mengeksploitasi perempuan, “mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kendali atas tubuh perempuan maupun anak-anak mereka, sehingga tidak ada yang namanya penyakralan akan suatu keperawanan atau kesucian, dan (kaum lelaki) tidak menuntut apapun dari eksklusivitas aktivitas seksual perempuan.” (5) Zubaeeda Banu Quraishy memberikan satu contoh dari Afrika: “Hubungan-hubungan gender suku Mbuti dikarakteristikan oleh harmoni dan kerjasama.” (6)
Memasuki era Paleolitikum Lanjut, yang merupakan awalan dari Revolusi era Neolitikum dimana terbentuknya peradaban dan domestikasi, revolusi gender telah mencapai masanya. Tanda-tanda maskulin dan feminim mulai hadir sekitar 35,000 tahun lalu di dalam seni-seni goa. Kesadaran gender bangkit sebagai pencapaian keseluruhan dualitas, suatu spektral dari masyarakat yang terpilah-pilah. Di dalam suatu polarisasi aktivitas baru ini, aktivitas menjadi berorientasi dan terdefinisikan oleh gender. Peran pemburu, misalnya, berkembang menjadi sesuatu yang kelaki-lakian, kriteria-kriterianya terkhususkan pada gender pria sebagai suatu sifat yang diinginkan (7).
Ketika telah menjadi sangat menyatu atau menyeluruh, aktivitas semacam kelompok-kelompok peramu makanan dan tanggung jawab komunal untuk merawat anak, sekarang ini menjadi bidang-bidang yang terpisah di mana kecemburuan seksual dan kepemilikan (posesif) mulai hadir. Disaat yang bersamaan, hal-hal simbolis muncul sebagai suatu bidang ataupun realitas yang terpisah. Bukti-bukti ini bisa dilihat dalam praktik-praktik seni dan ritual. Sangatlah berisiko untuk mengandaikan masa lalu yang jauh menggunakan titik berangkat masa sekarang, meskipun budaya-budaya non-industrial yang masih tersisa dapat menunjukan titik terang. Suku Bimin-Kushumin Papua Nugini, misalnya, mengalami pemisahan maskulin dan feminim sebagai sesuatu yang mendasar dan menegaskan. ”Esensi” maskulin, yang diistilahkan sebagai finiik, tidak hanya melambangkan kualitas-kualitas kekuatan ala kesatria perang, tetapi juga berhubungan dengan ritual dan kontrol. ”Esensi” feminim, atau khaapkhabuurien, adalah sesuatu yang liar, impulsif, sensual, dan acuh pada ritual. Sama halnya dengan Mansi di daerah barat-daya Siberia yang memberlakukan aturan-aturan keras pada keterlibatan perempuan di dalam praktik-praktik ritual. (8)
 Adanya bukti suku-suku seperti ini, bukanlah hal yang berlebihan untuk mengatakan bahwa peran ritual merupakan sesuatu yang menentukan bagi subordinasi perempuan. Gayle Rubin menyimpulkan bahwa ”kekalahan universal perempuan secara historis hadir melalui asal-usul budaya dan merupakan prasyarat dari terjadinya budaya.” (9)


Catatan :
1.        zerzan, John, 2007, Patriarki, Peradaban dan Asal-Usul Gender, harismamedia.com. (1 : Meillasoux, op.cit., hal 20-21, 2 : Sebagai contoh, Adrienne L. Zihlman dan Nancy Tanner, “Gathering and Hominid Adaptation,” dalam Lionel Tiger and Heather Fowler, eds., Female Hierarchies (Beresford: Chicago, 1978); Adrienne L. Zihlman, “Women in Evolution,” Signs 4 (1978); Frances Dahlberg, Woman the Gatherer (Yale University Press: New Haven, 1981); Elizabeth Fisher, Woman’s Creation: Sexual Evolution and the Shaping of Society (Anchor/ Doubleday: Garden City NY, 1979). 3 : James Steele dan Stephan Shennan, eds., The Archaeology of Human Ancestry (Routledge: New York, 1995), hal. 349. Also, M. Kay Martin and Barbara Voorhies, Female of the Species (Columbia University Press: New York, 1975), hal 210-211. 4 : Claude Meillasoux, Maidens, Meal and Money (Cambridge University Press: Cambridge, 1981), p. 16. 5 : Rosalind Miles, The Women’s History of the World (Michael Joseph: London, 1986), p. 16. 6 : Zubeeda Banu Quraishy, “Gender Politics in the Socio-Economic Organization of Contemporary Foragers,” dalam Ian Keen dan Takako Yamada, eds., Identity and Gender in Hunting and Gathering Societies (National Museum of Ethnology: Osaka, 2000), p. 196. 7 : Elena G. Fedorova, “The Role of Women in Mansi Society,” in Peter P. Schweitzer, Dalam Hunters and Gatherers in the Modern World (Berghahn Books: New York, 2000), karya Megan Biesele dan Robert K. Hitchhock, hal. 396. 8 :  Steven Harrall, Human Families (Westview Press: Boulder CO, 1997), hal. 89. “Contoh-contoh hubungan antar ritual dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat forager tersebar luas,” menurut Stephan Shennan di “Social Inequality and the Transmission of Cultural Traditions in Forager Societies,” karya Steele and Shennan, op.cit., hal. 369. 9:  Gayle Rubin, “The Traffic in Women,” Toward an Anthropology of Women (Monthly Review Press: New York, 1979), hal. 176.
2.        Notoadmodjo, Soekidjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta
3.        Fritcof Capra, 1999, Titik Balik Peradaban ‘ Sain, Masyarakat dan Kebangkitan Budaya. Yayasan bentang Budaya, Jogjakarta.{ (*) : Keutuhan dan kesehatan, hal : 431. (**) : Gelombang yang berbalik, hal 33-34.   

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking