“Feminis dan Gerak Budaya”
Alam sama sekali tidak menjelaskan mengenai
pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, tidak pula dengan institusi
semacam pernikahan, keterikatan suami-istri, maupun paternalitas. Semuanya
dipaksakan kepada perempuan, maka dari itu semua ini haruslah dijelaskan
melalui peradaban, bukan malah menggunakannya untuk menjelaskan secara
sebaliknya (1 : Meillasoux).
Meski
tak seorangpun ahli antropologi, atau arkeolog termasuk feminis menemukan dan
membenarkan asumsi bahwa peradaban itu
mula-mula matriarkal. Akan tetapi saya akan membuat suatu eksplorasi dari
tulisan ini menganai berbagai kejadian-kejadian tentang gerak budaya
matriarkal, agar tidak menjadi dongeng belaka, mengaburkan bahkan menjadi
kegelapan sejarah. Saya akan brangakat dari sebuah mitologi yunani kuno, tentang
dewa-dewa penyembuh. Hal ini sangat menarik buat saya karena masih teringat
jelas, waktu dosen saya menjelaskan tentang mitologi tersebut dan beberapa
referensi ilmu kesehatan yang menjadikan mitologi ini sebagai sejarah kesehatan
masyarakat, dua tokoh besar yakni Asclepius dan Hygea yang memiliki peran yang berbeda dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sepanjang
masa yunani kuno penyembuhan dianggap, secara esensial sebagai suatu fenomena
spiritual dan diakaitkan dengan dewa-dewa. Hygea adalah dewa penyembuh yang
paling menonjol diantara dewa-dewa yang lain, yang merupakan salah satu
manifestasi dari Dewa Crete Athena, yang dihubungka dengan simbolisme ular dan
menggunakan semacam daun-daun sebagai penyembuh segala macam. Ritus
pengobatannya merupakan rahasia yang dijaga oleh pendeta wanita. Menjelang
akhir millinium kedua sebelum masehi, agama dan tatanan sosial telah dipaksakan
ke yunani oleh tiga gelombang penyerbu barbar dan sebagian besar mitos-mitos
dewi kuno mengalami distorsi dan dimasukkan dalam sistem baru, dengan cara
mengambarkan dewi sebagai keluarga dewa yang lebih kuat. Hygea dibuat menjadi putri dewa Asclepius yang
menjadi dewa penyembuh yang dominan dan disembah di kuil-kuil diseluruh yunani
(*). Dalam versi mitos baru, Hygea dan saudara perempuannya Panikea dihubungkan
sebagai putri Aclepius yang merupakan dua aspek seni penyembuh yang sejak
yunani kuno hingga dewasa ini tetap dianggap sahih sebagai preventive dan
curative.
Versi
mitos baru inilah yang kemudian menjadi referensi dalam ilmu kesehatan modern,
dari salah satu referensi dijelaskan bahwa Asclepius disebut sebagai sebagai
dokter pertama dan disebutlah Hygea sebagai asisten dan sekaligus sebagai
istrinya. Meskipun berikutnya dijelaskan perbedaan peran mereka, Asclepius
melakukan pendekatan pengobatan (curative) dan Hygea dengan pendekatan
pecegahan penyakit (preventive)(Admodjo,
2003).
Paham
patriarki yang masuk ke yunani pada saat itu, mewabah pada semua aspek kehidupan,
sangat kompleks, dan terdistribusi dengan baik sampai pada pemikiran-pemikiran
yang paling mendasar. Membuat sistem ini hingga kini tidak pernah tertentang
secara terbuka dalam catatan sejarah dan doktrin-doktrinnya diterima sedemikian
universal sehingga tampak sebagai hukum alam. Tradisi agama, memberikan
sumbangsi besar terhadap kelanggengan sistem ini. Dimana agama, yang setia pada
gambaran Tuhan sebagai pria, suatu personifikasi akal yang hebat dan sumber
kekuasaan ultima, yang memerintah dunia dari atas dengan memberlakukan hukum
ilahianya pada dunia. Agama dan tatanan sosial yang telah dipaksakan, merupakan
arus budaya yang kuat terhadap keruntuhan sistem matriarkal (**).
Berbagai
distorsi sejarah yang telah dibawah oleh arus patriarkal dari hal yang sangat
mendasar bahkan samapi pada distorsi mitos, yang memberi pengaruh besar
terhadap perdaban alam dan manusia.
Sejak
1970an antropolog, Adrienne Zihlman, Nancy tanner dan Frances Dahlberg (2)
membenarkan stereotip mula-mula era prasejarah dimana ”Lelaki adalah sang
pemburu” dan ”Perempuan adalah sang peramu.” Kuncinya disini adalah data bahwa
secara garis besar, komunitas-komunitas pra-agrikultur memperoleh 80 persen
kebutuhan makan dari mengumpul (mengumpulkan makanan) dan 20 persen dari
berburu. Sangat mungkin untuk mencurigai pemisahan antara berkumpul/berburu dan
mengabaikan bahwa komunitas-komunitas tersebut, dalam tingkatan-tingkatan
signifikan, dapat membuktikan bahwa perempuan yang berburu dan pria yang meramu
(3). Namun otonomi perempuan di dalam masyarakat semacam ini mengacu pada
fakta, melalui penilaian pola aktivitas mereka, bahwa sumberdaya untuk hidup
bagi perempuan cukup setara dengan pria.
Dalam
komunitas-komunitas matriarkal Pueblo, Iroquois, Crow dan kelompok-kelompok
Indian Amerika lainnya, perempuan dapat memutuskan tali perkawinan kapan saja.
Secara garis besar, pria dan perempuan di dalam masyarakat semacam ini lebih
leluasa bergerak dengan bebas dan damai dari satu kelompok ke kelompok lainnya,
seperti halnya juga ketika mereka berada di dalam atau di luar suatu hubungan.
(4) Menurut Rosalind Miles, pria tidak hanya tidak memerintah ataupun
mengeksploitasi perempuan, “mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak
memiliki kendali atas tubuh perempuan maupun anak-anak mereka, sehingga tidak
ada yang namanya penyakralan akan suatu keperawanan atau kesucian, dan (kaum
lelaki) tidak menuntut apapun dari eksklusivitas aktivitas seksual perempuan.”
(5) Zubaeeda Banu Quraishy memberikan satu contoh dari Afrika: “Hubungan-hubungan
gender suku Mbuti dikarakteristikan oleh harmoni dan kerjasama.” (6)
Memasuki era Paleolitikum Lanjut, yang
merupakan awalan dari Revolusi era Neolitikum dimana terbentuknya peradaban dan
domestikasi, revolusi gender telah mencapai masanya. Tanda-tanda maskulin dan
feminim mulai hadir sekitar 35,000 tahun lalu di dalam seni-seni goa. Kesadaran
gender bangkit sebagai pencapaian keseluruhan dualitas, suatu spektral dari
masyarakat yang terpilah-pilah. Di dalam suatu polarisasi aktivitas baru ini,
aktivitas menjadi berorientasi dan terdefinisikan oleh gender. Peran pemburu,
misalnya, berkembang menjadi sesuatu yang kelaki-lakian, kriteria-kriterianya
terkhususkan pada gender pria sebagai suatu sifat yang diinginkan (7).
Ketika telah menjadi sangat menyatu atau
menyeluruh, aktivitas semacam kelompok-kelompok peramu makanan dan tanggung
jawab komunal untuk merawat anak, sekarang ini menjadi bidang-bidang yang
terpisah di mana kecemburuan seksual dan kepemilikan (posesif) mulai hadir. Disaat
yang bersamaan, hal-hal simbolis muncul sebagai suatu bidang ataupun realitas
yang terpisah. Bukti-bukti ini bisa dilihat dalam praktik-praktik seni dan
ritual. Sangatlah berisiko untuk mengandaikan masa lalu yang jauh menggunakan
titik berangkat masa sekarang, meskipun budaya-budaya non-industrial yang masih
tersisa dapat menunjukan titik terang. Suku Bimin-Kushumin Papua Nugini,
misalnya, mengalami pemisahan maskulin dan feminim sebagai sesuatu yang
mendasar dan menegaskan. ”Esensi” maskulin, yang diistilahkan sebagai finiik,
tidak hanya melambangkan kualitas-kualitas kekuatan ala kesatria perang, tetapi
juga berhubungan dengan ritual dan kontrol. ”Esensi” feminim, atau
khaapkhabuurien, adalah sesuatu yang liar, impulsif, sensual, dan acuh pada
ritual. Sama halnya dengan Mansi di daerah barat-daya Siberia yang
memberlakukan aturan-aturan keras pada keterlibatan perempuan di dalam
praktik-praktik ritual. (8)
Adanya bukti suku-suku seperti ini, bukanlah
hal yang berlebihan untuk mengatakan bahwa peran ritual merupakan sesuatu yang
menentukan bagi subordinasi perempuan. Gayle Rubin menyimpulkan bahwa
”kekalahan universal perempuan secara historis hadir melalui asal-usul budaya
dan merupakan prasyarat dari terjadinya budaya.” (9)
Catatan :
1.
zerzan,
John, 2007, Patriarki, Peradaban dan Asal-Usul Gender, harismamedia.com. (1 : Meillasoux,
op.cit., hal 20-21, 2 : Sebagai contoh, Adrienne L. Zihlman dan
Nancy Tanner, “Gathering and Hominid Adaptation,” dalam Lionel Tiger and
Heather Fowler, eds., Female Hierarchies (Beresford: Chicago, 1978); Adrienne
L. Zihlman, “Women in Evolution,” Signs 4 (1978); Frances Dahlberg, Woman the
Gatherer (Yale University Press: New Haven, 1981); Elizabeth Fisher, Woman’s
Creation: Sexual Evolution and the Shaping of Society (Anchor/ Doubleday: Garden City NY, 1979). 3 : James
Steele dan Stephan Shennan, eds., The Archaeology of Human Ancestry (Routledge:
New York, 1995), hal. 349. Also, M. Kay Martin and Barbara Voorhies, Female of
the Species (Columbia University Press: New York, 1975), hal 210-211. 4 : Claude Meillasoux, Maidens, Meal
and Money (Cambridge University Press: Cambridge, 1981), p. 16. 5 : Rosalind Miles, The Women’s
History of the World (Michael Joseph: London, 1986), p. 16. 6 : Zubeeda
Banu Quraishy, “Gender Politics in the Socio-Economic Organization of
Contemporary Foragers,” dalam Ian Keen dan Takako Yamada, eds., Identity and
Gender in Hunting and Gathering Societies (National Museum of Ethnology: Osaka,
2000), p. 196. 7 : Elena G. Fedorova, “The Role of Women in Mansi Society,” in Peter P.
Schweitzer, Dalam Hunters and Gatherers in the Modern World (Berghahn Books:
New York, 2000), karya Megan Biesele dan Robert K. Hitchhock, hal. 396. 8 :
Steven
Harrall, Human Families (Westview Press: Boulder CO, 1997), hal. 89. “Contoh-contoh
hubungan antar ritual dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat forager tersebar
luas,” menurut Stephan Shennan di “Social Inequality and the Transmission of
Cultural Traditions in Forager Societies,” karya Steele and Shennan, op.cit.,
hal. 369. 9: Gayle Rubin, “The Traffic in Women,” Toward an Anthropology of Women
(Monthly Review Press: New York, 1979), hal. 176.
2.
Notoadmodjo,
Soekidjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta
3.
Fritcof
Capra, 1999, Titik Balik Peradaban ‘ Sain, Masyarakat dan Kebangkitan Budaya.
Yayasan bentang Budaya, Jogjakarta.{ (*) : Keutuhan dan kesehatan, hal : 431.
(**) : Gelombang yang berbalik, hal 33-34.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking